Jumat, 02 Juni 2017

Cerpen-Ku










Sebelumnya, penulis mohon maaf, apabila dalam penulisan terdapat kata-kata yang kurang berkenan atau sulit dipahami, bahkan alurnya yang mondar-mandir tidak karuan, ceritanya apa, tanda bacanya apa, itu 100% kekurangan dari penulis, kritik dana saran sangat dibutuhkan guna perbaikan untuk kedepannya. Perkenankan disini penulis, melontarkan setiap apa yang ada dipikirannya. Secuil kisah tentang anak rantau yang yang berjuang untuk mewujudkan harapannya.

Meraih Senja

Usianya yang kini menginjak duapuluhan, membuatnya berfikir kritis akan kehidupannya di masa depan. Dia seorang lelaki tangguh yang tak mau merepotkan keluarganya. Dia berjuang untuk wanita yang diidam-idamkannya selama ini. Tiga tahun yang lalu dia pergi meninggalkan tanah kelahirannya, perginya bukan tanpa arah dan tujuan, dia pergi untuk mencari rezeqi di tanah rantau.
Pahit manisnya kehidupan di kota orang sudah biasa dia rasakan. Dari istirahat yang kurang sampai kerja di saat semua orang terlelap dalam mimpi indahnnya. Fahri, iya… lelaki tangguh itu bernama Fahri.
Bulan demi bulan berlalu, hari demi hari dia lewati, susah senang dia jalani. Hingga tiba bulan yang teramat berkah bagi setiap muslim, bulan Ramadhan tepat tiba esok hari. Di serambi masjid disamping Pabrik duduklah Fahri dan temannya, bercakap-cakaplah mereka di pagi itu.
“Bro, besok kan tanggal 1 Ramadhan, kamu puasa nggak?” Haikal menepuk bahu Fahri.
“Iya puasa lah bro, aku kan muslim.” Tegas Fahri.
“So alim lo bro, emang gak capek apa? Kerja kita kan berat.”
“Haikal… Haikal, kerja jangan dijadikan alasan untuk tidak berpuasa”. Kita sebagai muslim diwajibkan untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, lo tahu sendiri kan?”
“Halahk, Fahri! Gak usah ceramah di depan gue deh lo!!!” mata Haikal melotot.
“Lo ini gimana Kal, tadi kan lo nanya, ya gue jawab, ko sekarang malah jadi sewot gitu?”
“Ya, habis bicaramu kaya ustadz-ustadz di Tv-tv si bro.” tepuk jidat
“Hee. Biasa ajah lah bro” Fahri sedikit terkekeh.
Percakapan yang singkat itu berakhir ketika bel tanda masuk bekerja berbunyi nyaring. Tet… tet… tet…
Jingga kala senja merupakan pemandangan yang sangat indah ditatap oleh sebagian insan. Namun tidak dengan Fahri, kala sore tiba dia harus mengayuh sepeda merahnya untuk menuju kontrakan yang dia tempati. Batinnya terkadang mengeluh, “Ya Allah, Kuatkan hamba untuk menghadapi semua ini, hamba rela capek demi seseorang yang hamba sayangi, demi masa depan yang akan hamba bina kelak. Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kabulkanlah jerit hati hamba ini.”
Sesampainya dia di ruangan yang hanya berukuran 4x3m, dia membersihkan diri dan beristirahat. Terhanyut dia dalam sebuah lamunan, batinnya kembali bergumam “kala senja seperti ini, aku merindu gadis desa yang sekian lama aku idam-idamkan, kerudung biru yang dia kenakan saat aku bertamu di rumahnya, tiga tahun silam saat aku akan berpamitan pada orangtuanya. Senyum manisnya, lembut tutur katanya, sopan santun tingkah lakunya yang membuatku selalu merindukannya Aggghhhtttt, berfikiran apa aku ini, aku harus fokus kerja selain aku juga harus menambah keistiqomahanku dalam beribadah. Hidup di kota orang tidak mudah, aku harus selalu sabar dan kuat.” Allahu Akbar-Allahu Akbar… suara Adzan Maghrib membangunkan lamunannya, dia bergegas mengambil air wudhu. Usai sholat maghrib dia melantunkan ayat suci Al-Qur’an, begitu senangnya dia dengan salah satu kalam Ilahi ini. “Ar-Rachman” surat ini yang seringkali dia baca seusai shalat Maghrib.
Kring… kring… kringgggg… dering jam beker mengagetkannya dari lelap tidurnya, waktu menunjukkan pukul tiga pagi, dia bergegas mencuci muka, lalu pergi ke warteg untuk membeli makan sahur.
“Bang, nasi putih sama telor baalado ya!” Pinta Fahri
“Dibungkus apa makan disini nak?”
“Dibungkus saja bang.”
“Kamu yakin mau puasa nak?”
“Iya yakin lah bang, kalau tidak yakin ngapain aku pagi-pagi buta seperti ini datang ke warung abang.”
“Baguslah nak kalau seperti itu”
“Iya bang”.
Dibawanya sebungkus nasi ke kontrakkan, dia melanjutkan menyantap makan sahurnya. Tidak lupa dia untuk niat. Meski kerjanya berat demi cita-citanya terwujud di masa depan, membuat Fahri selalu semangat dalam menjalani kehidupannya di tanah rantau. Sebisa mungkin dia menjalankan kewajibannya sebagai umat Islam. Meski terkadang malas dan banyak hasuttan sana sini. Karena dia berprinsip: “meski hidup di tanah rantau yang penting tidak melanggar norma.”
Libur telah tiba, pulanglah Fahri ke kampung halaman. Seperti yang telah dia janjikan dulu, tepat di malam satu syawal keluarga besar Fahri meminang gadis desa yang menjadi idaman Fahri sejak dulu. Betapa bahagianya Fahri, gadis yang dia idam-idamkan telah dipinang. Menikahlah Fahri dan Gadis desa tersebut setelah keluarga kedua belah pihak bersepakat dalam penentuan hari pernikahan mereka, tepat pada pertengahan bulan Syawal.
Fahri kini telah meraih senjanya, perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Mereka hidup dengan keharmonisan rumah tangga.


THE END… :-) 




1 komentar:

  1. Waw.. Mantabs djiwa sister. Kyaknya gw ngarti spa tokoh utamanya :v

    BalasHapus