Sebelumnya,
penulis mohon maaf, apabila dalam penulisan terdapat kata-kata yang kurang
berkenan atau sulit dipahami, bahkan alurnya yang mondar-mandir tidak karuan,
ceritanya apa, tanda bacanya apa, itu 100% kekurangan dari penulis, kritik dana
saran sangat dibutuhkan guna perbaikan untuk kedepannya. Perkenankan disini
penulis, melontarkan setiap apa yang ada dipikirannya. Secuil kisah tentang
anak rantau yang yang berjuang untuk mewujudkan harapannya.
Meraih Senja
Usianya
yang kini menginjak duapuluhan, membuatnya berfikir kritis akan kehidupannya di
masa depan. Dia seorang lelaki tangguh yang tak mau merepotkan keluarganya. Dia
berjuang untuk wanita yang diidam-idamkannya selama ini. Tiga tahun yang lalu
dia pergi meninggalkan tanah kelahirannya, perginya bukan tanpa arah dan
tujuan, dia pergi untuk mencari rezeqi di tanah rantau.
Pahit
manisnya kehidupan di kota orang sudah biasa dia rasakan. Dari istirahat yang
kurang sampai kerja di saat semua orang terlelap dalam mimpi indahnnya. Fahri,
iya… lelaki tangguh itu bernama Fahri.
Bulan
demi bulan berlalu, hari demi hari dia lewati, susah senang dia jalani. Hingga
tiba bulan yang teramat berkah bagi setiap muslim, bulan Ramadhan tepat tiba
esok hari. Di serambi masjid disamping Pabrik duduklah Fahri dan temannya,
bercakap-cakaplah mereka di pagi itu.
“Bro,
besok kan tanggal 1 Ramadhan, kamu puasa nggak?” Haikal menepuk bahu Fahri.
“Iya
puasa lah bro, aku kan muslim.” Tegas Fahri.
“So
alim lo bro, emang gak capek apa? Kerja kita kan berat.”
“Haikal…
Haikal, kerja jangan dijadikan alasan untuk tidak berpuasa”. Kita sebagai
muslim diwajibkan untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, lo tahu sendiri kan?”
“Halahk,
Fahri! Gak usah ceramah di depan gue deh lo!!!” mata Haikal melotot.
“Lo
ini gimana Kal, tadi kan lo nanya, ya gue jawab, ko sekarang malah jadi sewot
gitu?”
“Ya,
habis bicaramu kaya ustadz-ustadz di Tv-tv si bro.” tepuk jidat
“Hee.
Biasa ajah lah bro” Fahri sedikit terkekeh.
Percakapan
yang singkat itu berakhir ketika bel tanda masuk bekerja berbunyi nyaring. Tet…
tet… tet…
Jingga
kala senja merupakan pemandangan yang sangat indah ditatap oleh sebagian insan.
Namun tidak dengan Fahri, kala sore tiba dia harus mengayuh sepeda merahnya
untuk menuju kontrakan yang dia tempati. Batinnya terkadang mengeluh, “Ya Allah,
Kuatkan hamba untuk menghadapi semua ini, hamba rela capek demi seseorang yang
hamba sayangi, demi masa depan yang akan hamba bina kelak. Ya Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, kabulkanlah jerit hati hamba ini.”
Sesampainya
dia di ruangan yang hanya berukuran 4x3m, dia membersihkan diri dan
beristirahat. Terhanyut dia dalam sebuah lamunan, batinnya kembali bergumam
“kala senja seperti ini, aku merindu gadis desa yang sekian lama aku
idam-idamkan, kerudung biru yang dia kenakan saat aku bertamu di rumahnya, tiga
tahun silam saat aku akan berpamitan pada orangtuanya. Senyum manisnya, lembut
tutur katanya, sopan santun tingkah lakunya yang membuatku selalu merindukannya
Aggghhhtttt, berfikiran apa aku ini, aku harus fokus kerja selain aku juga harus
menambah keistiqomahanku dalam beribadah. Hidup di kota orang tidak mudah, aku
harus selalu sabar dan kuat.” Allahu Akbar-Allahu Akbar… suara Adzan Maghrib
membangunkan lamunannya, dia bergegas mengambil air wudhu. Usai sholat maghrib
dia melantunkan ayat suci Al-Qur’an, begitu senangnya dia dengan salah satu
kalam Ilahi ini. “Ar-Rachman” surat ini yang seringkali dia baca seusai shalat
Maghrib.
Kring…
kring… kringgggg… dering jam beker mengagetkannya dari lelap tidurnya, waktu
menunjukkan pukul tiga pagi, dia bergegas mencuci muka, lalu pergi ke warteg
untuk membeli makan sahur.
“Bang,
nasi putih sama telor baalado ya!” Pinta Fahri
“Dibungkus
apa makan disini nak?”
“Dibungkus
saja bang.”
“Kamu
yakin mau puasa nak?”
“Iya
yakin lah bang, kalau tidak yakin ngapain aku pagi-pagi buta seperti ini datang
ke warung abang.”
“Baguslah
nak kalau seperti itu”
“Iya
bang”.
Dibawanya
sebungkus nasi ke kontrakkan, dia melanjutkan menyantap makan sahurnya. Tidak
lupa dia untuk niat. Meski kerjanya berat demi cita-citanya terwujud di masa
depan, membuat Fahri selalu semangat dalam menjalani kehidupannya di tanah
rantau. Sebisa mungkin dia menjalankan kewajibannya sebagai umat Islam. Meski
terkadang malas dan banyak hasuttan sana sini. Karena dia berprinsip: “meski
hidup di tanah rantau yang penting tidak melanggar norma.”
Libur
telah tiba, pulanglah Fahri ke kampung halaman. Seperti yang telah dia janjikan
dulu, tepat di malam satu syawal keluarga besar Fahri meminang gadis desa yang
menjadi idaman Fahri sejak dulu. Betapa bahagianya Fahri, gadis yang dia
idam-idamkan telah dipinang. Menikahlah Fahri dan Gadis desa tersebut setelah
keluarga kedua belah pihak bersepakat dalam penentuan hari pernikahan mereka,
tepat pada pertengahan bulan Syawal.
Fahri
kini telah meraih senjanya, perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Mereka
hidup dengan keharmonisan rumah tangga.